Borges dan Puisi
Awalnya saya hanya mengenal Borges lewat sejumlah cerpennya yang magis. Namun saat menerjemahkan sejumlah cerpennya di The Book of San...
Awalnya saya hanya mengenal Borges lewat sejumlah
cerpennya yang magis. Namun saat menerjemahkan sejumlah cerpennya di The Book
of Sand, saya menemukan sejumlah puisi yang juga menarik untuk dibaca dan
diselami. Sebelum jauh membahas perihal karya-karya Borges, saya selalu cemburu
dengan keteguhan Borges untuk menjadi seorang pembaca. Bagi Borges, dia lebih
senang disebut sebagai seorang pembaca dibanding seorang cerpenis atau penyair.
Hal ini beberapa kali dia sebutkan dalam wawancara, esai dan ceramahnya.
Dalam sebuah ceramahnya yang berjudul “A Poet’s Creed” di Universitas
Harvard, Borges menyampaikan sikapnya terhadap puisi. Bagi seorang Borges,
karya-karyanya dilahirkan dari sebuah gagasan yang ditemukan dan dipikirkan secara
matang. Ditambahkan dengan berbagai muslihat serta kisah yang berlapis di dalam
cerita. Akan tetapi, di sisi lain Borges menyampaikan bahwa dalam proses
menulisnya, dia mencoba untuk tak memahaminya. Sebisa mungkin dia menghilangkan
kesadarannya, sebab bagi Borges sendiri – salah satu dosa dari sastra modern ia
terlalu sadar diri.
Bagi Borges, sadar diri membuat penulis akan terikat
dengan keadaan pribadi yang dimiliki. Tulisannya hanya menjadi sebentuk
gambaran nyata atas mimpi yang ada di kepalanya. Bilamana mimpi itu buruk, maka
cerita itu kemudian diciptakan dengan konsep mimpi itu. Tak peduli mimpi itu
suram atau indah. Bahkan bila mimpi itu tak jelas arah dan maknanya. Secara
tidak langsung, proses menulis Borges itu pun berlangsung lama, termasuk dalam
menulis puisi. Hanya saja, terkhusus dalam puisi – Borges menekankan pada irama
atau musik yang ada. Musik dalam puisi menjadi sesuatu yang lebih penting
dibanding makna itu sendiri.
Dalam ceramahnya, Borges tak menyampaikan kredo
penyair secara jelas, melainkan pernyataan bahwa perenungan atas waktu yang
lampau dan akan datang selalu terbesit di kepalanya. Kata-kata menjadi ruang
ingatan yang bebas melampaui masa yang ada. Dalam kata-kata, semua menjadi
simbol bagi pembaca. Saya pun percaya bahwa puisi bisa menjadi jalan panjang
bagi seorang pembaca untuk masuk ke dalam sebuah masa yang entah.
Puisi yang baik adakalanya membawa kita pada
perenungan mendalam secara tidak sadar. Dan Jacques Lacan sendiri sebagai
seorang psikoanalisis menyimpan kepercayaan kuat pada puisi, bahwa puisi
menjadi senjata yang ampuh dalam menyentuh alam bawah sadar kita. Di bidang
ilmu psikologi sendiri, puisi menjadi sebuah terapi yang digunakan dalam
mengatasi sejumlah masalah psikis sejak tahun 1990-an hingga sekarang. Sebuah
upaya yang sebenarnya telah ada sejak para filsuf menghidupkan jiwanya melalui
perenungan dan puisi.
Celakanya, puisi menjadi sesuatu yang tidak begitu
diperhatikan dengan serius. Dua orang teman saya yang berprofesi sebagai
saudagar buku, suatu kali pernah bercerita tentang sulitnya menjual buku puisi.
Hingga akhirnya, mereka berdua kadang berpikir dua kali jika harus memesan di
penerbit dan menjual buku puisi di tokonya masing-masing. Tapi situasi ini
terasa ganjil ketika di dunia maya, orang-orang tampak keranjingan menulis
sesuatu yang mereka sebut sebagai puisi. Bagaimana pun, puisi yang baik lahir
dari proses belajar dan perenungan yang dalam, bukan sekadar mengejar
popularitas semata. Kita mesti belajar dari para filsuf, bagaimana mereka
memperlakukan puisi. Dan di dalam karya Borges, kata-kata menjelma mesin waktu
yang membuat kita bebas menjelajah.
Sudahkah anda membaca satu atau dua buah puisi untuk
mengawali atau menutup hari anda?
*Tulisan ini pertama kali dimuat pada rubrik Puitika, Koran Fajar - 2 Desember 2018.
Post a Comment: